Rabu, 27 Agustus 2008

Emas pada Diri Manusia

Seorang pemuda mendatangi Zen-sei dan bertanya, "Guru, saya tak mengerti
mengapa orang seperti Anda mesti berpakaian apa adanya, amat sangat sederhana.
Bukankah di masa seperti ini berpakaian sebaik-baiknya amat perlu, bukan hanya
untuk penampilan melainkan juga untuk banyak tujuan lain."

Sang Guru hanya tersenyum. Ia lalu melepaskan cincin dari salah satu jarinya,
lalu berkata, "Sobat muda, akan kujawab pertanyaanmu, tetapi lebih dahulu
lakukan satu hal untukku.Ambillah cincin ini dan bawalah ke pasar di seberang
sana.
Bisakah kamu menjualnya seharga satu keping emas?" Melihat cincin Zen-sei yang
kotor, pemuda tadi merasa ragu, "Satu keping emas? Saya tidak yakin cincin ini
bisa dijual seharga itu." "Cobalah dulu, sobat muda. Siapa tahu kamu berhasil."

Pemuda itu pun bergegas ke pasar. Ia menawarkan cincin itu kepada pedagang
kain, pedagang sayur, penjual daging dan ikan, serta kepada yang lainnya.
Ternyata, tak seorang pun berani membeli seharga satu keping emas. Mereka
menawarnya hanya satu keping perak.
Tentu saja, pemuda itu tak berani menjualnya dengan harga satu keping perak.
Ia kembali ke padepokan Zen-sei dan melapor, "Guru, tak seorang pun berani
menawar lebih dari satu keping perak."

Zen-sei, sambil tetap tersenyum arif, berkata,"Sekarang pergilah kamu ke toko
emas di belakang jalan ini. Coba perlihatkan kepada pemilik toko atau tukang
emas di sana. Jangan buka harga, dengarkan saja bagaimana ia memberikan
penilaian."

Pemuda itu pun pergi ke toko emas yang dimaksud.Ia kembali kepada Zen-sei
dengan raut wajah yang lain.Ia kemudian melapor, "Guru, ternyata para pedagang
di pasar tidak tahu nilai sesungguhnya dari cincin ini. Pedagang emas
menawarnya dengan harga seribu keping emas. Rupanya nilai cincin ini seribu
kali lebih tinggi daripada yang ditawar oleh para pedagang di pasar."
Zen-sei tersenyum simpul sambil berujar lirih,"Itulah jawaban atas pertanyaanmu
tadi sobat muda. Seseorang tak bisa dinilai dari pakaiannya.
Hanya "para pedagang sayur, ikan dan daging di pasar" yang menilai demikian.
Namun tidak bagi "pedagang emas".

" Emas dan permata yang ada dalam diri seseorang, hanya bisa dilihat dan
dinilai jika kita mampu melihat ke kedalaman jiwa.
Diperlukan kearifan untuk menjenguknya. Dan itu butuh proses. Kita tak bisa
menilainya hanya dengan tutur kata dan sikap yang kita dengar dan lihat
sekilas. Seringkali yang disangka emas ternyata loyang dan yang kita lihat
sebagai loyang ternyata emas "

Tidak ada komentar: